Aku memiliki pengalaman baru untuk menjelajah salah satu pasar besar di kecamatan. Sebenarnya tidak ada bedanya dengan psar-pasar yang telah kukunjungi sebelumnya. Namun, aku baru kali ini memasukinya dan berbelanja sendiri. Aku ditemani oleh sepupuku yang telah terbiasa berbelanja di pasar ini. Jadi aku tidak khawatir kalau aku akan tersesat dan tidak tahu jalan keluar.
Hari yang sibuk. Sejak pukul 6 pagi, aku sudah naik motor. Selain berkeliling pasar, aku juga membeli beberapa jajanan di alun-alun yang sebelumnya belum pernah kulakukan. Melelahkan, tapi menyenangkan. Mungkin kalimat itu yang bisa mewakili. Bagaimana tidak, jika di total selama sehari, mungkin sekitar 4 jam aku berada di jalan dengan motorku, dengan aku yang selalu di depan. Total perjalanan yang bisa mengantarkanku untuk sampai ke Jogja lagi.
Malamnya, aku menonton sebuah drama Korea yang tak sengaja kutemukan judulnya dalam pencarian, The Good Bad Mother. Dengan penonton mendekati angka 3 juta dengan rating 8.60, drama ini cukup menarik perhatianku. Ditambah lagi dengan genre comedy, life, drama, family, menurutku bakal seru. Awalnya...
Tapi baru menonton 1 episode secara penuh, rasanya menyakitkan sekali. Film tentang babi, tapi bukan tentang babi biasa. Tidak salah jika genre dramanya tentang kehidupan. Karena emosi yang disampaikan di episode pertama adalah perasaan benci, amarah, sedih, dan kecewa yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Aku hanya mampu menonton 4 episode. Per episode durasinya 1 jam 10 menit hingga 1 jam 20 menit. Terlalu lama bagiku dan ingin segera menyelesaikannya.
Kesampingkan dulu cerita tentang drama. Aku ingin melanjutkan ceritaku tentang pagiku yang sibuk. Pada hari itu aku bertemu dengan banyak orang yang kukenal. Aku mengunjungi rumah bibiku karena sedang ada acara. Ketika aku baru datang dengan ibu, tiba-tiba seseorang bertanya, "loh... Kamu gak jadi S2?" Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Dilanjut dengan pertanyaan, "Sekarang di rumah? Udah kerja?" Gantian ibu yang menjawabnya, "Pengangguran sukses." Ketika aku mendengar jawaban ibuku, aku hanya tertawa dalam hati. Ibu harus merasakan kebingungan yang aku rasakan ketika menjawab pertanyaan orang-orang. Apalagi ketika beberapa orang membanggakan anaknya dengan pekerjaan dan pencapaiannya.
Balik lagi... Ketika aku membicarakan rencanaku kepada ibu, ibu selalu membicarakannya kepada orang-orang. Dan selalu saja, rencanaku gagal. Rasanya sebal sekali. Niat hati aku mengatakan rencanaku agar didoakan. Bukan untuk dibicarakan.
Komentar
Posting Komentar