Langsung ke konten utama

LELAH

 Siang tadi aku mengunjungi rumah kerabatku.

Aku bertemu dengan beberapa anak kerabatku, tiga anak. Mereka duduk di bangku kelas 1, 3, dan 4 pada sekolah dasar yang sama. Tentunya jam masuk sekolah mereka sama, pukul 07.00 WIB. Yang membedakan adalah jam pulang sekolah dan pelajaran yang didapatkannya selama di sekolah. Anak kelas 1, pulang pukul 10.00 WIB. Anak kelas 3, pulang pukul 11.30 WIB. Dan anak kelas 4 pulang pukul 12.30 WIB. Setelah sekolah pagi, mereka lanjut sekolah pada lembaga pendidikan non-formal (TPQ dan Diniyah) pada pukul 13.00 WIB dan pulang pada pukul 17.00 WIB. 

Ketika aku bertanya kepada mereka, dengan waktu bertanya yang berbeda namun dengan pertanyaan yang sama, mereka menjawab hal yang sama. "Sekolah itu capek gak, sih?" Mereka dengan kompak menjawab, "Tidak" sambil tersenyum. Bagi seseorang yang telah menempuh pendidikan formal maupun non-formal selama 19 tahun, itu hal yang sangat melelahkan. Bagaimana tidak, hampir 9-10 jam harus berada di lembaga yang bernama "sekolah", belum lagi ditambah kegiatan lain di luar sekolah juga pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru di sekolah. Aku sendiri pun sudah lupa bagaimana perasaanku ketika bersekolah. Yang aku ingat, ketika aku RA (Raudatul Atfal) dan MI (Madrasah Ibtidaiah), waktu sekolah adalah waktu bermain bersama teman-teman. 

Perasaan yang menjadikan sekolah seperti beban mulai muncul ketika aku kelas 7 MTs (Madrasah Tsanawiah). Karena semakin banyak mata pelajaran yang harus dipelajari. Dalam sehari mungkin pernah mencapai 8 mata pelajaran sekaligus. Belum lagi tugas juga kewajiban yang lain yang diterima dari lingkungan sekolah. Kesulitan dalam memahami materi mata pelajaran juga terus meningkat seiring makin tingginya kelas. Ditambah dengan kondisi kelas yang cukup penuh. Dalam satu kelas, biasanya diisi dengan 40-50 siswa. 

Kuliah? Beda cerita lagi. Lebih panjang, komplet, dan sangat rumit.

Mungkin, beban yang aku rasakan dalam dunia pendidikan tidak hanya berasal dari diriku sendiri. Tapi juga dari pengaruh lingkungan sekitarku. Semakin dewasa semakin merasa bahwa waktu bermain semakin berkurang. Dan pada akhirnya, mungkin kita akan berada di titik di mana kita tidak bisa bermain lagi dan menikmati waktu yang kita lewati seperti kita waktu kecil. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Itu...

Lagu itu... Adalah sebuah lagu yang mengingatkanku akan dirinya. Lagu yang pernah ia bilang sebagai "musik pertama" yang membuatnya "penasaran". Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku padanya sekarang. Dalam doaku terakhir kali, aku meminta jika ia bukan jodohku, semoga Tuhan menghapuskan segalanya tentang dia. Apa pun; perasaan, pikiran, serta kenangan yang pernah aku lalui bersama. Dan sekarang, orang itu masih memiliki sedikit tempat di hidupku. Entah bakal bertahan berapa lama, aku pun tak bisa menjawabnya.  Sampai Jadi Debu-Banda Neira . Kembali, tentang lagu. Karena orang tersebut, aku ikut mendengarkannya. Bukan karena aku suka, tapi orang yang aku suka menyukai lagu itu, aku jadi ikut suka. Setiap aku mendengarkan musik dalam mode santai, wajib bagi diriku untuk memutarnya. Dengan diiringi keheningan malam, setiap mendengar lagunya, menikmati alunan musiknya, mencoba memahami makna dalam setiap liriknya, pikiranku tertuju pada bayang-bayang yang tid...

Hamba Tak Tahu Diri

Engkau bukan Malaikat juga bukan Nabi Engkau bukan Ulama juga bukan wali Engkau adalah hamba yang tak tahu diri Tak punya rasa malu sedikit pun kepada Ilahi Engkau menuntut begitu dan begini Ingin semua harapanmu terjadi Sesuai dengan apa yang kau prediksi Jika punya kehendak sesuatu, doamu cepat sekali Giliran disuruh berbuat ma’ruf, seringnya kau ingkari Sholat sering kau nanti-nanti Lebih mengedepankan urusan duniawi Zakat juga sedekah kau bilang esok hari Menunggu dirimu kaya punya emas berlian tujuh peti Ketika kau diberi limpahan rezeki Kau bilang itu adalah hasil usahamu sendiri Ketika kau diberi kecerdasan yang mumpuni Kau bilang itu adalah hasil dari apa yang kau pelajari Sombongmu tiada henti Kebaikan Tuhan kau dustai Tiada sesuatu pun yang kau sesali Hari berganti hari Penyakit hati semakin menggerogoti Congkak, tamak, pamer, iri juga dengki Dan akhirnya hatimu sudah tak kuat menahan sakit itu lagi Bendera putih telah ber...

Tentang Ziggy

Ziggy? Siapa Ziggy? Ziggy siapa? Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, seorang penulis Indonesia yang telah menerbitkan banyak buku. Aku menulis Tentang Ziggy sebagai wadah baru untuk menuangkan apa yang ada di dalam otakku setelah membaca beberapa buku karyanya.  Mari kita mulai. Aku telah membaca Di Tanah Lada (2015), Jakarta Sebelum Pagi (2016), White Wedding (2016), dan yang baru saja selesai Semua Ikan Di Langit (2017). Dan keempatnya aku baca di iPusnas. Bagaimana pada mulanya aku bisa membaca novel karangannya? Aku lupa persis kapan. Tapi, berdasarkan ingatanku yang ternyata tidak sekuat yang aku bayangkan, aku mulai mengetahui namanya dari Twitter―sebelum berubah nama menjadi X. Banyak orang yang berkomentar dalam sebuah Tweet tentang buku yang membuat orang yang telah selesai membacanya merasa kosong, dan mereka menulis "Di Tanah Lada" atau "novel karya Ziggy". Di lain itu, pada waktu yang lain, banyak orang yang menyayangkan tentang berita yang menyatakan bah...