Apa yang Salah dengan Diriku?
Suatu hari—dan bukan hanya satu kali dalam sepanjang masa—aku memikirkan sesuatu. Ia datang seperti hantu: diam-diam mengikuti, tanpa bisa dicegah kehendaknya. Beberapa kali, aku sampai pada momen di mana pikiran itu muncul lagi.
Keinginan untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak.
Pikiran yang, menurut kebanyakan orang, buruk. Bahkan menurut diriku sendiri—entah kenapa. Aku bertanya: kenapa aku harus memikirkan hal ini? Apa yang membuat keinginan itu tumbuh di dalam benakku? Apa yang terjadi pada diriku hingga muncul ide semacam itu?
Kalau boleh jujur, keinginan itu bukan sekadar ikut-ikutan tren di media sosial yang sering berkata, “pernikahan itu menakutkan.” Bahkan sebelum konten-konten seperti itu bermunculan, benih dari pikiran ini sudah tumbuh dalam diriku. Hanya saja, dulu ia muncul sekilas. Kini, ia kembali—dengan suara yang lebih jelas. Bukan sebagai keputusan yang ingin segera kuambil, tapi sebagai pertanyaan yang menuntut jawaban:
Kalau kutarik ingatan ke satu tahun lalu—saat aku berani memutuskan hubungan yang menurutku sudah tidak bisa dilanjutkan—aku mulai menjalani hidup yang penuh oleh diriku sendiri. Aku disibukkan oleh pikiranku, perasaanku, tubuhku, kegiatan-kegiatanku, dan masa depanku. Bukan berarti egois, tapi aku sedang belajar mengenali diriku secara utuh. Dan dalam proses itu, aku lebih sering bertanya:
Lalu, perlahan-lahan aku mulai sadar: mungkin keinginanku untuk tidak menikah datang dari satu hal yang mendalam—ketakutan.
Selama ini, ketika aku merasa nyaman dengan lawan jenis dan menjadikannya teman, ujung-ujungnya selalu gagal kupertahankan. Yang lebih menyakitkan, aku kadang harus berurusan dengan pasangannya. Dan meskipun aku ikut bahagia saat mereka akhirnya membangun keluarga kecil yang hangat—aku juga merasa seperti penonton yang tak pernah ikut masuk ke dalam cerita itu.
Mungkin itu alasan pertama.
Alasan berikutnya datang dari lingkungan sekitarku. Banyak cerita tentang betapa rumitnya kehidupan setelah menikah: ketidakcocokan, perselingkuhan, kesulitan ekonomi, kurangnya kedewasaan emosional, kekerasan dalam rumah tangga—bahkan kematian. Pernikahan, katanya, indah. Tapi nyatanya? Tidak sesederhana itu. Maka aku bertanya: mengapa banyak orang mendorong orang lain untuk menikah secepatnya, seakan itu perlombaan?
Lalu ada hal ini: aku seorang introver.
Aku lebih nyaman menyendiri. Aku tidak bisa membayangkan harus berbagi ruang dan waktu secara terus-menerus dengan orang lain. Aku sering kali sibuk dengan pikiranku sendiri, dan aku belum merasa siap untuk membuka ruang itu secara penuh. Apalagi untuk seumur hidup.
Dan mungkin… alasan terbesarnya adalah tentang eksistensiku.
Aku punya mimpi dan tujuan yang ingin kuraih. Aku ingin menjalani hidup yang bermakna menurut versiku sendiri. Dan sejauh ini, gagasan tentang pernikahan terasa seperti batas, bukan jembatan.
Tapi... Apa Itu Salah?
Aku tidak tahu apakah semua alasan itu cukup valid menurut dunia. Tapi yang kutahu, itu valid untukku. Mungkin ini bukan akhir dari pencarianku. Mungkin suatu hari aku berubah pikiran. Tapi hari ini, inilah aku—dalam kejujuranku.
Dan aku rasa, itu langkah pertama menuju kebebasan.
Komentar
Posting Komentar