Langsung ke konten utama

JUMBO

Tulisan ini adalah tulisan yang tidak selesai kutulis pada beberapa hari lalu karena suatu hal dan mungkin akan panjang.

Malam ini aku menonton sebuah film animasi berjudul "JUMBO". Entah dorongan dari mana hingga akhirnya aku menonton film di bioskop lagi setelah film Miracle in Cell No 7 pada tahun 2022 di salah satu bioskop Jogja. Selama beberapa hari terakhir, di beranda akun media sosial milikku berseliweran video tentang Jumbo. Entah cuplikan filmnya, soundtracknya, aktor-akris pengisi suara, orang di belakang layar, komentar dan reaksi orang-orang setelah menontonnya, kutipan kata-kata motivasi atau pesan moral yang di dapat dari film, dan yang lainnya. 

Secara objektif, JUMBO adalah film animasi. Namun secara subjektif bagiku, film JUMBO memicu keadaan yang campur aduk. Secara emosi, sejak beberapa menit awal ketika anak bernama "DON" bermain dengan teman-temannya di sebuah lapangan, ia dipanggil "JUMBO" karena badannya yang besar  membuatku mulai meneteskan air mata. Ketika Jumbo bersemangat untuk membacakan buku cerita yang dikarang oleh orang tuanya, teman-temannya merasa bosan karena terus-terusan mendengar cerita tersebut dari Don. Ketika Don ingin bermain kasti dengan teman-temannya, ia dijadikan pilihan terakhir oleh teman-temannya. Teman-temannya tidak ingin mengajaknya bermain karena jika Don bergabung, tim mereka selalu kalah dalam setiap permainan karena Don yang lambat.

Namun, meskipun Don dijauhi teman-teman bermainnya, ia memiliki sahabat baik bernama Nurman dan Mae. Keduanya selalu ada untuk Don dan menemani Don. Don, Nurman, dan Mae, masing-masing memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Don, orang tuanya meninggal ketika ia masih bayi karena kecelakaan dan ia hanya tinggal dengan neneknya. Nurman, ayahnya meninggal dunia, ibunya pergi meninggalkannya, dan ia tinggal dengan engkongnya sekaligus ia harus mengurus kambing-kambing milik engkongnya; Mbek, Mbeek, dan Mbeeek. Mae, menurut cerita Don, sebelum tinggal dengan orang tuanya yang sekarang, Mae tinggal di panti asuhan. Don memiliki satu teman baru bernama Meri. Meri adalah arwah anak kecil yang lemah lembut, suka membantu, dan selalu menepati janji. Don dan dua sahabatnya bertemu dengan Meri di pabrik gula dekat hutan yang dijadikan markas mereka bertiga. Meri terpisah dari keluarganya usai ayah dan ibunya diculik dan kemudian meminta bantuan kepada  Don, Nurman, dan Mae untuk membantunya menemukan ayah ibunya. 

Yang aku rasakan...

Sebelum menonton, aku tidak ekspektasi apa pun tentang JUMBO. Aku pikir hanya film kartun "biasa". Tapi ternyata ketika aku menontonnya, banyak hal yang terjadi dalam film yang memicu "sesuatu" di dalam diriku. Baru beberapa menit ditayangkan, air mataku mulai merembes ketika Don "dikucilkan" dan diejek oleh teman-temannya sendiri. Don mengingatkan diriku pada masa kecil yang sering mendapat ejekan dari lingkungan sekitarku tentang fisikku, bahkan hingga sekarang ini. Itu sakit. Tapi diriku kecil tak benar-benar memahami apa yang aku rasakan karena orang dewasa tidak pernah memberitahu dan menjelaskannya. Don yang dijauhi teman-temannya, mirip dengan diriku yang dulu hanya memiliki satu teman bermain. 

Don yang ceritanya tidak didengar oleh teman-temannya dan orang-orang tidak mendengarkan ceritaku, apakah aku juga orang yang egois? Yang inginnya didengarkan, tanpa mau mendengarkan? Tapi mengapa aku tumbuh sebagai orang yang lebih banyak mendengarkan daripada bercerita? Sepertinya, waktu kecil aku suka bercerita. Apakah karena dahulu tidak ada yang mendengarkan ceritaku? Hingga pada akhirnya aku memilih untuk lebih sering menyimpan ceritaku sendiri? 

Aku teringat pesan Nenek kepada Don yang aku tuliskan di dalam Catatan ponselku, 

"Kalau Don mau menjadi pencerita yang baik, Don harus jadi pendengar yang baik. Cerita tidak akan jadi cerita kalau tidak ada yang mendengar." Pencerita yang baik akan diam jika ceritanya tidak didengarkan? 

Pikiran yang lain, memiliki keluarga dan sahabat yang suportif juga termasuk sebuah keberkahan. Tidak banyak orang yang menyadarinya. Yang aku lihat, orang tua Don adalah dua orang yang saling mendukung satu sama lain. Alih-alih mengucilkan impian pasangannya, mereka justru membantu untuk mewujudkannya. Begitu pula dengan Nenek Don terhadap orang tua Don, tipe orang tua atau mertua yang open minded dan gak terlalu banyak berkomentar kepada anak dan menantunya. Ketika Mama Don memiliki ide untuk membuat buku cerita dan menciptakan lagu untuk Don, neneknya mendukung ide tersebut. Dan jadilah buku cerita dengan judul "Pulau Gelembung" dan lagu "Selalu Ada di Nadimu".

Banyak orang yang fokus pada Atta, si anak yang "jahat" kepada Don. Ah... memang berat menjadi sosok Atta yang hanya tinggal dengan abangnya yang kakinya sedang sakit dan membutuhkan pengobatan. Atta membantu kakaknya menjadi tukang servis barang elektronik dan tukang kebun. Ia juga ingin mengikuti sebuah pentas untuk membantu biaya pengobatan kakaknya, namun ia tidak bisa mengikutinya karena pendaftarannya telah ditutup. Ketika Atta menemui Don untuk meminta maaf, Atta takjub melihat isi kamar Don yang bagus, sesuatu yang tidak bisa dimiliki oleh Atta. 

Atta dan Bang Acil, dua orang yang hanya bisa mengandalkan satu sama lain, hanya bisa makan dengan nasi telur kecap manis. Anak sekecil Atta, mempertanyakan tentang beratnya kehidupan yang dijalaninya, "Bang, kenapa sih kita begini? Kenapa?" Bang Acil menjawab, "mungkin, kita dikasih hidup begini tuh karena kita kuat." 

Apakah kita sekuat itu? Atau kita hanya berpura-pura kuat? Atau kita menjadi kuat karena apa yang terjadi dengan kita?

Pesan Bang Acil, "Dek, kalau adek capek, adek kesel, adek marahnya jangan sama orang lain, ya! Jangan jahatin teman-teman adek. Cerita aja sama abang. Cerita semuanya. Abang pasti dengerin." 

Tentang janji dan keegoisan. 

Don, Nurman, Mei, dan Meri mengikuti pentas dalam sebuah festival yang diadakan di mana mereka berbagi tugas untuk mendongengkan buku cerita milik Don. Setelah dongeng telah selesai, Don dan Meri menyanyikan lagu yang diciptakan oleh Mama Don. Mereka menjadi juara dalam pentas tersebut dan diharuskan tampil pada malam puncak. Sebelum pentas, Don meminta bantuan kepada Meri untuk membantunya untuk mengambil buku dongengnya yang diambil oleh Atta dengan janji bahwa Don dan yang lainnya akan membantunya untuk menemukan orang tuanya. Don mengingkari janjinya kepada Meri dan ingin Meri membantunya lagi untuk ikut pentas. Don berjanji kembali setelah Meri mau ikut pentas dengannya, ia akan membantu Meri. Namun, Don mengingkari janjinya lagi dengan menyuruh Meri untuk tampil lagi di malam puncak. Padahal, Meri tidak memiliki banyak waktu. Meri merasa kecewa kepada Don karena berulang kali mengingkari janji dan ia memilih pergi untuk mencari orang tuanya sendiri. 

Ternyata, kecewa kepada orang lain itu memang benar adanya. Ketika pada awalnya kita memilih untuk percaya kepada seseorang, namun pada akhirnya orang tersebut mengingkari kepercayaan yang telah kita berikan kepadanya.  Keegoisan Don membuat Meri pergi dan dua sahabatnya yang lain juga merasa kecewa kepada sikap Don yang hanya fokus pada malam puncak daripada menepati janji yang telah dibuat. Yang aku tangkap dari bagian ini adalah setiap individu memilik fokus dan tujuan masing-masing. Don yang ingin membuktikan dirinya bahwa ia "hebat" dan Meri yang ingin mencari keberadaan orang tuanya. Namun, setelah itu Don sadar bahwa apa yang dilakukannya salah. 

Pada akhirnya, Don, Nurman, dan Mae bergabung dengan Atta menyelamatkan Meri dan orang tuanya, serta Bang Acil yang disekap oleh Pak Kades. Mereka bersatu, membentuk kekuatan, dan berhasil.

SELESAI.


Di setiap cerita, pasti ada banyak peran. Kalau ada peran yang bersedih, ada peran yang menghibur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Itu...

Lagu itu... Adalah sebuah lagu yang mengingatkanku akan dirinya. Lagu yang pernah ia bilang sebagai "musik pertama" yang membuatnya "penasaran". Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku padanya sekarang. Dalam doaku terakhir kali, aku meminta jika ia bukan jodohku, semoga Tuhan menghapuskan segalanya tentang dia. Apa pun; perasaan, pikiran, serta kenangan yang pernah aku lalui bersama. Dan sekarang, orang itu masih memiliki sedikit tempat di hidupku. Entah bakal bertahan berapa lama, aku pun tak bisa menjawabnya.  Sampai Jadi Debu-Banda Neira . Kembali, tentang lagu. Karena orang tersebut, aku ikut mendengarkannya. Bukan karena aku suka, tapi orang yang aku suka menyukai lagu itu, aku jadi ikut suka. Setiap aku mendengarkan musik dalam mode santai, wajib bagi diriku untuk memutarnya. Dengan diiringi keheningan malam, setiap mendengar lagunya, menikmati alunan musiknya, mencoba memahami makna dalam setiap liriknya, pikiranku tertuju pada bayang-bayang yang tid...

Hamba Tak Tahu Diri

Engkau bukan Malaikat juga bukan Nabi Engkau bukan Ulama juga bukan wali Engkau adalah hamba yang tak tahu diri Tak punya rasa malu sedikit pun kepada Ilahi Engkau menuntut begitu dan begini Ingin semua harapanmu terjadi Sesuai dengan apa yang kau prediksi Jika punya kehendak sesuatu, doamu cepat sekali Giliran disuruh berbuat ma’ruf, seringnya kau ingkari Sholat sering kau nanti-nanti Lebih mengedepankan urusan duniawi Zakat juga sedekah kau bilang esok hari Menunggu dirimu kaya punya emas berlian tujuh peti Ketika kau diberi limpahan rezeki Kau bilang itu adalah hasil usahamu sendiri Ketika kau diberi kecerdasan yang mumpuni Kau bilang itu adalah hasil dari apa yang kau pelajari Sombongmu tiada henti Kebaikan Tuhan kau dustai Tiada sesuatu pun yang kau sesali Hari berganti hari Penyakit hati semakin menggerogoti Congkak, tamak, pamer, iri juga dengki Dan akhirnya hatimu sudah tak kuat menahan sakit itu lagi Bendera putih telah ber...

MULTITUGAS

 Aku perlu menuliskan tentang maksud dari judul yang aku tulis untuk cerita yang akan tuangkan kali ini terlebih dahulu. Multitugas (dalam bahasa Inggris disebut dengan multitasking ) menurut KBBI berarti aksi melakukan beberapa tugas dalam waktu  yang bersamaan.  Satu semester aku kuliah di jurusan Psikologi, aku merasa lebih pandai dalam menilai dan memahami diriku sendiri daripada sebelumnya. Terlebih tentang "sesuatu" yang membentuk diriku hingga menjadi sekarang ini. Aku akan bercerita tentang pola aktivitasku ketika masa dewasa yang setelah aku ingat-ingat kembali, telah terbentuk sejak aku kecil. Dan itu "dibiasakan" dan menjadi "kebiasaan" hingga saat ini.  Seperti judul tulisan ini, multitugas. Mungkin orang-orang merasa asing dengan kata multitugas yang bagi diriku juga kata asing yang baru aku ketahui. Tapi, akan kugunakan dalam tulisan ini sebagai kata yang sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Aku yang sekarang ini, aku menyadari bahwa ...