Hampir 5 tahun diri ini berkuliah di salah satu kampus negeri di Jogja.
Dari kabupaten kecil di bagian utara Pulau Jawa, Pati Jawa Tengah.
Banyak opsi jalan untuk pulang pergi dari Jogja ke Pati maupun sebaliknya.
Penulis sendiri lebih menyukai perjalanan dengan rute Jogja - Klaten - Sukoharjo - Karanganyar (Colomadu) - Boyolali (Ngemplak) - Sragen - Purwodadi - Pati. Karena menurut penulis, rute tersebut lebih nyaman dan tidak terlalu ramai jika dibandingkan dengan rute yang melewati Surakarta.
Penulis menempuh perjalanan selama kurang lebih 4,5 jam untuk sampai di tujuan. Selama perjalanan itulah penulis memikirkan banyak hal. Terlebih dengan perjalanan hidup.
Penulis mengibaratkan hidup itu seperti rute perjalanan yang penulis lewati, Jogja-Pati.
Terkadang penulis melalui jalan yang lurus dan mulus seperti jalan Jogja-Klaten. Jalan yang paling enak dan melenakan menurut penulis yang bisa ditempuh dengan waktu 1 jam perjalanan. Karena ketika melewati jalan ini, penulis merasa aman dan berpikir bahwa semua jalan yang dilalui akan sama enaknya dengan jalan ini. Masalah yang dihadapi di jalan ini adalah kepadatan dan banyaknya lampu lalu lintas. Dan karena mulusnya jalan, terkadang membuat penulis mengantuk dan menurut penulis jalan ini terlalu membosankan. Hanya lurus saja dan tanpa rintangan yang berarti. Bukankah hidup juga berada di fase itu? Terasa sangat membosankan karena rutinitas yang terus berulang dan merasa lurus-lurus saja, seperti zona nyaman. Namun terkadang kita sering dibuat lengah olehnya, merasa ke depannya bakal tetap mulus tanpa ada cobaan.
Terkadang penulis melalui jalan yang penuh rintangan seperti jalan Sragen (Gemolong - Sumberlawang). Jalan yang setiap penulis melewatinya, selalu dalam keadaan rusak, bergelombang, dan penuh lubang. Jalan tersebut sering diperbaiki, namun entah mengapa juga sering mengalami kerusakan. Selain karena kontur tanah, faktor kerusakan jalan ini menurut penulis juga ditentukan oleh faktor cuaca. Ketika cuaca sedang teriknya, jalan dipenuhi dengan debu yang beterbangan. Ketika sedang turun hujan, genangan air berada di sepanjang jalan, menyebabkan jalan berlubang dan aspal rusak. Bagi penulis, itu lebih terlihat seperti halang rintang yang harus ditaklukkan. Ketika melewati jalan ini, penulis merasa tertantang. Sepanjang jalan penuh dengan ketegangan. Tangan dan kaki erat memegang rem tangan dan gas. Begitu pula dengan kaki, berada dalam posisi siaga pada persneling dan rem kaki. Pandangan fokus pada jalan yang sedang dihadapi. Lengah sedikit bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun ketika telah melewati jalan itu, rasanya terdapat kepuasan pada diri sendiri. Penulis merasa hidup tidak melulu tentang cobaan, rintangan dan juga masalah. Memang setiap manusia memiliki ujian hidupnya masing-masing. Apakah ujian itu bakal selamanya? Apakah kesedihan akan bertahan seumur hidup? Rasanya tidak mungkin. Ketika dihadapkan oleh suatu masalah, apakah kita akan tetap berdiam diri saja? Apa dengan berdiam diri, masalah akan selesai begitu saja? Rasanya tidak mungkin. Daripada hanya berdiam diri, bukanlah lebih baik kita mencoba untuk melewatinya? Meskipun kita tidak tahu apa yang akan menanti kita di kemudian hari, setidaknya kita telah berusaha untuk melewatinya. Anggap saja setiap masalah dan ujian yang datang sebagai halang rintang yang harus ditaklukkan. Kalah menang itu urusan belakang. Yang terpenting kita mampu untuk terus bertahan untuk tetap melewatinya.
Masih dengan jalan Sragen. Terutama jalan di sekitar Waduk Kedungombo. Jalan paling adem dan sejuk menurut penulis. Terlebih dengan jalan yang cenderung sepi. Ketika melewati jalan tersebut, terbit rasa bahagia sekaligus takut. Beberapa kali penulis benar-benar sendirian di jalan yang sejuk itu. Perasaan takut dan khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sering muncul. Meskipun sebenarnya tidak masalah jika penulis sendiri. Tapi dalam suasana sendirian, pikiran jadi tidak jelas arahnya. Terlebih memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi kepada penulis, baik di jalan maupun di masa depan nanti. Benar, sendiri bukan berarti sepi. Sepi belum tentu sendiri. Penulis memang merasakan sendiri, namun penulis bahagia dan tidak merasakan kesepian karena penulis sangat menikmati pemandangan yang ada di depan mata. Pohon-pohon hijau di kiri kanan, bukit-bukit yang berbaris rapi, dan juga jalan yang mulus tidak banyak rintangan yang berarti. Mungkin benar, ada suatu masa kita akan sendirian. Lantas bagaimana kita memaknai kesendirian itu, itu tergantung dari cara pandang kita. Sendirian tak selamanya menakutkan. Bukan berarti dalam kesendirian kita merasa kesepian. Kadang-kadang kita membutuhkan waktu sendiri untuk memikirkan hal-hal yang telah kita lewati selama ini. Selama penulis melewati jalan tersebut, penulis hanya sekedar lewat. Tidak ada keinginan untuk menikmati keindahan Waduk Kedungombo sejenak. Karena fokus utama adalah sampai di tempat tujuan dengan selamat. Entah sampai di rumah maupun kamar kos, itu lebih penting dan melegakan ketika telah melakukan perjalanan panjang yang melelahkan. Mungkin suatu saat nanti, ketika ada kesempatan untuk melewatinya lagi, penulis akan menyempatkan waktu untuk berhenti sebentar dan melihat ada apa di sana.
Selanjutnya, jalan yang ketika penulis melewatinya rasanya sungguh sangat amat melelahkan. Jalan Purwodadi. Jalannya luas. Tapi ketika berada di dalamnya, rasanya sangat panas dan membuat malas. Bisa dibilang ini bagian tengah-tengah jalan yang penulis lewati. Kalau bisa, rasanya tidak ingin melewatinya. Apakah bisa dilompati? Meskipun jalannya luas, tapi terdapat beberapa bagian jalan yang rusak karena banyak kendaraan besar melintas. Begitu pula hidup. Terkadang kita berada di fase yang sangat membosankan, memuakkan, dan memalaskan. Dan mungkin lebih baik jika kita tidak usah melewatinya saja. Tapi apa boleh buat. Mau tidak mau, malas tidak malas, kita tetap harus melewatinya. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan menanti kita di perjalanan berikutnya.
Yang terakhir, jalan Purwodadi-Pati. Jalan perbatasan antar kabupaten. Merasa kesepian kembali. Perjuangannya bukan hanya melewati kesepian, namun juga jalan naik turun, berkelok-kelok dan rusak. Bukankah di perjalanan sebelumnya penulis sudah terlatih dengan kesepian dan berbagai rintangan? Penulis rasa, ini bukan masalah yang berarti. Meskipun dengan kondisi yang lebih parah, di kanan-kiri hutan, jalan sempit dan rusak, hal yang mudah saja untuk dilewati. Penulis telah menempa diri. Bukan hal yang baru lagi ketika melewatinya. Ketika berada di jalan tersebut, penulis berpikir, "oh ternyata aku mengalaminya lagi." Jika ingin menyerah rasanya itu tidak berguna. Karena nyatanya aku telah berjalan sejauh ini. Melewati berbagai rintangan hingga pada akhirnya sampai di titik ini. Yang harus kita lakukan hanya terus berjalan. Beristirahat sejenak boleh-boleh saja. Tapi berhenti dan menyerah, bukankah itu seperti pecundang? Tapi di jalan yang seperti itu pun penulis menemukan satu titik yang ketika berada di titik tersebut, penulis merasa sangat bahagia dan bersyukur. Titik di mana penulis dapat melihat "Pati" secara menyeluruh dari atas ketinggian yang tidak terlalu tinggi. Itu cukup menjadi obat bagi kelelahan yang penulis alami.
Penulis membagikan cerita ini ketika penulis telah menyelesaikan kuliah dan pulang kembali ke rumah. Tulisan ini hanya pikiran yang penulis coba ungkapkan melalui kata-kata. Masih banyak kekurangan dalam tulisan ini. Tapi penulis ingin terus belajar penulis. Jika pun bisa, penulis ingin menjadi penulis yang terkenal dengan banyak karya suatu saat nanti. Jika pun tidak bisa, itu tidak masalah. Setidaknya penulis bisa mengurai satu per satu benang-benang kusut yang ada dalam pikiran penulis. Sekian dan terima kasih.
Pati, 14 Agustus 2023. 22.06.
Komentar
Posting Komentar