Tak terasa, hari ini, 23 tahun yang lalu, aku lahir ke dunia ini. 23 tahun sudah telah aku menjalani hari-hariku hingga berada di titik ini.
Sebenarnya, tidak ada hari ini tidak ada bedanya dengan hari-hariku kemarin. Tapi jika di pikir kembali, aku sudah melangkah jauh. Terutama satu tahun terakhir yang banyak hal terjadi.
Satu tahun yang menurutku terbagi ke dalam dua fase: fase sedih dan fase bahagia.
Fase pertama, fase sulit. Banyak kejadian yang tidak pernah terpikir bakal aku alami, tapi ternyata aku harus mengalami hal itu. Bermula dari sebelum ulang tahunku yang ke-22, dimana aku tidak akan pernah melupakan hal itu. Awal mula aku mengalami masa terpuruk selama 6 bulan kemudian. Awal Juli 2022, kasus penipuan yang menimpa salah seorang orang terdekatku, sebut saja "Mas A". Ia menjadi korban penipuan yang nominalnya tidak sedikit dengan motif hipnotis yang "aku" menjadi pembuka jalan bagi "Mas A" mengalami hal itu. Akulah yang menjadi penyebabnya. Sampai detik ini, rasa bersalahku terhadap "Mas A" dan keluarganya masih tetap saja menghantui. Meskipun "Mas A" sendiri telah memintaku untuk melupakan kejadian itu, tetap saja diriku tidak akan pernah bisa melakukannya. Aku yang terlalu polos. Dari kejadian itu aku belajar, "husnuzan kepada orang lain itu harus, tapi berhati-hati dan waspada itu perlu".
Berlanjut, pertengahan Juli, aku kehilangan salah satu orang yang aku cintai, Mbah Kakung. Rasanya sungguh sangat amat menyesakkan dada ketika aku tidak bisa melihatnya untuk terakhir kali. Di hari kepergiannya, rasanya begitu kacau dan hampa. Aku hanya menatap langit biru sambil berkata, "yang merasa kehilangan bukan hanya kamu. Yang pernah kehilangan bukan kamu. Lantas mengapa kamu merasa seakan dunia ini jahat kepadamu?"
Ulang tahun ke-22 yang rasanya campur aduk sekali. Bahagia? Sedih? Entahlah.... Aku bingung bagaimana harus mendeskripsikannya dengan tepat. Tetap merayakan hari ulang tahun seperti tahun lalu bersama teman yang memiliki tanggal lahir yang sama. Tetap membeli kue dan memakannya dengan penuh semangat meskipun pikirannya sedang melalang buana entah kemana. Tetap berusaha terlihat bahagia meskipun dalamnya sedang tidak baik-baik saja. Tetap mensyukuri apapun yang terjadi selama satu tahun perjalanan bertambah usia.
Bulan Agustus, tak kalah seru dengan bulan Juli. Ada apakah di bulan Agustus? Agustus awal, momen di mana menurutku fase terendah dalam dunia pendidikanku. Yeah... Masalah anak semester akhir ya skripsi. Lelahnya tugas kuliah ternyata tidak ada apa-apanya jika dibandingkan lelahnya masa skripsi. Lelah yang berkali-kali lipat, stres, depresi, frustrasi, dan yang sejenisnya. Lebih cenderung lelah dengan diri sendiri yang merasa tidak mampu untuk menyelesaikan skripsi. Tidak ada progres dan hanya diam di tempat. Pertama kali dalam sejarah hidupku, aku bercerita masalah dan beban pikiranku kepada orang tuaku dengan tangisan kejer. Aku berkali-kali meminta maaf kepada mereka karena aku belum bisa membahagiakan mereka menyelesaikan skripsiku. Karena tidak seperti aku yang biasanya, orang tuaku pun tampak khawatir dengan keadaanku. Ditambah lagi dengan teman dekatku yang hampir setiap hari menemaniku wisuda. Bahagia di hari kelulusannya sekaligus pilu. Merasa tertinggal daripada dirinya dan teman-teman yang lain yang sudah wisuda duluan. Dia membenciku karena aku datang ke wisudanya dengan mood hancur dan menunjukkan wajah sedih ketika foto. Hahaha... "Kamu akan kalah jika kamu berhenti melangkah."
Belum hilang rasa lelah kepada diriku sendiri, aku mendengar kabar yang justru membuat pikiranku makin semrawut. Bapak diberhentikan sepihak oleh bosnya dari pekerjaannya sebagai pengurus kapal. Makin makin makinlah saya merasa sebagai beban keluarga.
Tidak berhenti sampai di situ saja. Beberapa hari setelahnya, aku mengalami kejadian yang tak mengenakkan di kos yang sejak 2018 aku tinggali itu. Aku di fitnah oleh ibu penjaga kos mendukung aksi penipuan yang dilakukan oleh oknum tukang gas bodong yang dipersilakan masuk oleh penjaga kos. Tukang gas bodong tersebut bertingkah seolah-olah terjadi kebocoran pada kompor dan regulator gas. Padahal sebelumnya kompor gasnya baik-baik saja. Ibu yang punya kos juga menyalahkan aku dengan mengira aku yang memasukkan tukang servis kompor gas ke kos tanpa sepengetahuan yang jaga kos. Padahal aku tidak tahu apa-apa karena seharian hanya berada di dalam kamar. Aku juga dituduh ibu penjaga kos membuat laporan kepada yang punya kos terkait kompor gas yang tidak bisa dipakai (alur pengaduan yang dimaksud penjaga kos: ada masalah terkait fasilitas kos - laporan ke penjaga kos - penjaga kos laporan ke yang punya kos). Padahal aku pun juga tidak melapor apa-apa. Selanjutnya, aku dituduh memakai jemuran yang khusus buat dia. Dan faktanya, bukan aku yang melakukan hal tersebut. Dari peristiwa itulah terjadi pertengkaran hebat antara aku dengan ibu penjaga kos.
Ternyata level marahku bisa meningkat. Selama ini, jika aku marah, aku lebih memilih untuk diam. Takutnya, ketika aku marah dengan omongan, bakal keluar kata-kata yang akan menyakiti lawan bicaraku. Stok sabarku telah berada di bibir jurang. Aku sudah muak jika terus-terusan diam ketika aku direndahkan. Dan aku baru tahu bahwa aku bisa marah-semarahnya kepada orang lain. Sungguh amat menakutkan sekali. Setelah aku marah dengan kekuatan dan energi penuh, ibu penjaga kos malah makin menjadi-jadi. Dia menjelek-jelekkanku kepada semua penghuni kos. Menyebalkan sekali.
Sejak pertarunganku dengan ibu penjaga kos, aku lebih memilih untuk tidak peduli lagi dengan keberadaannya. Pernah berniat untuk keluar dan pindah kos, namun aku selalu ditahan oleh orang tuaku. Kita tidak saling bicara dan menyapa seperti biasanya. Dahulu, ketika aku ingin keluar, aku selalu takut dan khawatir bertemu dengannya. Terlalu malas jika harus selalu menjawab pertanyaan keingintahuan dan basa basinya. Setelah peristiwa itu, aku merasa tidak takut lagi jika bertemu dengannya dan bebas melakukan apapun yang aku mau di kos. Dalam hati aku hanya berkata, "tidak ada gunanya kamu memusuhiku. Justru kamu yang akan menyesal telah membuatku marah."
Sebulan kemudian, temanku menyuruhku untuk mengikuti kelas konseling yang diadakan oleh beberapa mahasiswa jurusan magister psikologi profesi salah satu kampus swasta di Jogja. Kelas konseling itu diadakan dalam 4 kali pertemuan selama kurang lebih satu bulan (Oktober-November) dan fokus kepada masalah kecemasan. Dan aku mengikutinya hingga selesai. Ceritanya tidak hanya sesederhana itu. Sehari sebelum pertemuan kedua, aku mengalami demam tinggi. Rasanya seperti tidak memiliki tenaga sama sekali. Tapi aku memutuskan untuk tetap berangkat dengan sisa tenaga yang aku punya. Apa yang menjadi sumber kecemasanku? Skripsi. Jelas... Di tempat konseling itu, aku menceritakan apa yang ada dalam pikiranku tentang skripsi. Tentang aku yang diam di tempat ketika berhadapan dengan skripsi, teman-temanku yang udah sidang dan wisuda, dan kekhawatiran akan masa depanku nanti. Beberapa hari setelahnya, demamku tak kunjung turun. Dan belakangan aku tahu bahwa aku mengalami radang. Padahal selama 22 tahun aku hidup, aku tidak pernah memiliki riwayat radang. Aneh memang...
Belum selesai fase pemulihanku dari radang, Ibu penjaga kosku berulah kembali. Kali ini dia membuang bahan masak anak kos yang ada di kulkas. Termasuk bahan masakku yang aku letakkan di dalam freezer. Perlu digarisbawahi, di dalam freezer. Yang berarti bahan makanan yang diletakkan di dalamnya akan membeku. Dan seafoodku yang beku dibuang begitu saja tanpa nanya langsung. Setelah membuang barang-barang di kulkas, dia pulang. Jadi kagak bisa ngelabrak langsung. Aku nanya lewat chat. Nanya baik-baik sih... Kan baru proses pemulihan. Ya kali disuruh ngamuk lagi. Hemat energi dong... Dan balasannya ternyata mencengangkan sekali. Dia buang barang-barang itu katanya udah nanya sama beberapa anak kos. Padahal tuh anak kos baru aja ngekos. Alasannya karena busuk dan berjamur. Hey... WTF lah... Mana ada barang beku bisa busuk dan berjamur? Emang bisa ya? Setahuku sih enggak ya... Kan beku. Ngadi-ngadi emang tuh orang. Bunga es dikatain jamuran. Kagak habis pikir dah...
Kesabaranku sudah melebihi batas. Segera setelah kejadian itu, laporlah aku kepada yang punya kos. Sudah cukup lelah aku merasakan tingkahnya yang di luar nalar. Aku mengadu tentang apa saja kelakuan ibu penjaga kos. Sang pemilik kos berkata bahwa dia akan menegur ibu yang jaga kos. Dan dan dan.... Setelah ditegur, beberapa hari kemudian nyamperin aku sambil ngomel, tidak terima ditegur yang punya kos gara-gara aku. Aku dibantu mbak kos yang juga menjadi korban melawan ibu yang jaga kos. Hahaha... Puas sekali. Dia yang salah, dia juga yang ngomel-ngomel. Sudah biasa.
Ketika kejadian pembuangan barang-barang itu, aku bercerita kepada ibu tentang apa yang aku alami melalui telepon. Ibuku yang memiliki love language act of service menyarankan agar aku melawannya secara langsung. Tapi aku tidak mengikuti anjurannya dan aku berdebat dengan ibuku. Karena kondisiku belum pulih sepenuhnya dan emosiku yang sedang tidak stabil, aku langsung mematikan sambungan teleponnya. Tindakan kurang ajar yang membuat ibuku sakit hati. Tidak hanya mematikan sambungan teleponnya, tapi aku juga mematikan hp-ku. Selama hampir 24 jam aku tidak mengaktifkan hp-ku dan meletakkan di tempat yang tidak bisa dilihat oleh mata. 24 jam merasakan kesepian tanpa hp. Akhirnya aku memutuskan untuk mengaktifkan hp-ku lagi dan membuka aplikasi WhatsApp. Tak kusangka aku membaca pesan yang dikirimkan ibuku setelah aku mematikan sambungan teleponku sehari sebelumnya, isinya kalimat yang agak menyakitkan dan aku tidak akan memberi tahu apa itu. Selama kurang lebih sebulan, aku tidak berhubungan dengan orang tuaku. Termasuk dengan bapak yang ikutan tidak menghubungiku. Tidak bermaksud mendiamkan orang tuaku. Tapi kebiasaan burukku adalah melakukan silent treatment ketika ada masalah.
Awal Desember adalah waktu dimana aku harus membayar uang kosku selama tiga bulan ke depan. Padahal, selama sebulan terakhir aku tidak berkomunikasi dengan orang tuaku terlebih dengan bapak yang selalu mentransfer uang bulanan padaku. Aku berpikir bahwa aku harus menurunkan egoku untuk meminta maaf kepada bapak ibuku. Dan aku melakukannya. Meminta maaf kepada orang tuaku, bapak dan ibuku.
Ada satu masalah yang datang di fase 6 bulan pertama setelah ulang tahunku. Masalah yang menurutku cukup bebas. Masalah yang mampu untuk mengguncang pikiranku. Selama seminggu aku dipenuhi oleh amarah dan emosi negatif yang entah datang dari mana. Aku marah kepada diriku sendiri. Aku marah kepada dunia. Mengapa hal itu bisa terjadi? Rasanya hampir-hampir tidak percaya. Aku dibuat tidak mengerti atas kejadiannya. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apapun untuk memperbaikinya. Jika diingat, rasanya menyesakkan dada. Tidak ingin menangis karena untuk masalah yang satu ini, air mataku tidak pantas untuk menangisinya. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri selama beberapa saat. Untuk selanjutnya aku menyadari, tidak ada gunanya larut dalam masalahnya. Yang terpenting adalah tentang bagaimana cara menyikapi masalahnya dan mencari jalan keluarnya. Masalah sudah terlanjur terjadi, bukankah lebih baik fokus kepada cara penyelesaiannya? Aku membutuhkan waktu 2 minggu untuk menerima dan mencerna apa yang terjadi. Mencari pelajaran apa yang bisa diambil untuk pedoman hidupku di masa depan nanti.
Fase pertama telah usai.
Berlanjut ke fase kedua...
Komentar
Posting Komentar